Hubungan Antara Manusia dengan Lingkungan yang Selaras Menuju ke Keharmonisan
Hubungan Antara
Manusia dengan Lingkungan yang Selaras
Menuju ke Keharmonisan
Lingkungan
tidak bisa terlepaskan dari kehidupan manusia. Segala aktivitas yang dilakukan
oleh manusia baik kecil maupun besar didalamnya turut campur tangan lingkungan.
Manuia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna diantara yang lain
diharapkan untuk menjaga dan memelihara lingkungan agar tetap tercipta
keharmonisan. Tetapi dengan kelebihan yang dimiliki tersebut terkadang manusia
tidak memikirkan dan tidak memperhatikan lingkungan sekitarnya dengan
ditandainya banyak bencana yang terjadi di sekitar kita. Hal tersebut terjadi
tidak lain dan tidak bukan adalah karena kerakusan dan kecerobohan manusia
sendiri. Apakah karena tidak sadar akan hakekat tujuan dilahirkan atau tidak
menyadari bahwa hidup di dunia ini bukanlah sendiri melainkan terdapat makhluk
lain yang merupakan ciptaan Tuhan juga. Sumber alam yang ada bukanlah untuk
kepentingan manusia semata melainkan untuk saling menjaga dan menghargai satu
sama lain.
Lingkungan yang semakin mengalami penurunan mutu
merupakan masalah utama yang perlu diperhatikan. Kebutuhan manusia yang semakin
beragam lebih mendominasi dibandingkan kesadaran untuk memelihara lingkungan.
Tidak lain tidak bukan pengetahuan manusia untuk memanfaatkan alam jauh lebih
dahulu berkembang daripada pengetahuannya untuk melindungi dan menyelamatkan
alam, sehingga kecenderungan untuk memanfaatkan lingkungan alam jauh lebih tertanam
dalam pribadi umat manusia dibandingkan kecenderungan untuk melindungi,
melestarikan dan menyelamatkan lingkungan alam.
Dalam ajaran Agama Hindu hubungan timbal balik antara
manusia dan lingkungan hidup pada dasarnya berpangkal pada kerangka dasar dari
agama Hindu yaitu, Tattwa, Susila dan Upacara.dan kitab
suci Weda. Ajaran Tattwa mengandung filosofis yang mendalam mengenai
pokok-pokok keyakinan maupun mengenai konsepsi ketuhanan, Ajaran susila merupakan
kerangka untuk bertingkah laku yang baik sesuai dengan dharma, dan upacara
merupakan kerangka untuk menghubungkan diri dengan Tuhan dalam bentuk
persembahan. Secara lebih rinci konsep-konsep dasar agama Hindu tentang
hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan hidup dimulai dari konsep
“Rta” dan “ Yadnya”.
Selain tiga kerangka umat Hindu tersbeut mengenai
lingkungan hidup juga berkaitan dengan konsep kosmologi TRI HITA KARANA. Falsafah tersebut memiliki konsep yang
dapat melestarikan keaneka ragaman budaya dan lingkungan di tengah hantaman
globalisasi dan homogenisasi. Pada dasarnya hakikat ajaran Tri Hita
Karana menekankan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di
dunia ini. Ketiga hubungan itu meliputi hubungan dengan sesama manusia, hubungan dengan
alam sekeliling, dan hubungan dengan ke Tuhanan yang saling terkait satu sama
lain. Setiap hubungan memiliki pedoman hidup menghargai sesama aspek
sekelilingnya. Prinsip pelaksanaannya harus seimbang, selaras antara satu dan
lainnya. Apabila keseimbangan tercapai, manusia akan hidup dengan mengekang
dari pada segala tindakan berekses buruk. Hidupnya akan seimbang, tenteram, dan
damai. Hubungan antara manusia dengan alam lingkungan perlu terjalin secara
harmonis, bilamana keharmonisan tersebut di rusak oleh tangan-tangan jahil,
bukan mustahil alam akan murka dan memusuhinya.
Manusia sebagai bagian yang tak terpisahkan dari alam pada
setiap tahap kehidupannya tidak terlepas oleh fenomena dan hukum alam. Semua
yang ada ini tunduk pada alam semesta, tidak ada sesuatu apapun yang luput dari
hukum yang berlaku dalam dirinya. Matahari terbit di timur dan tenggelam di
barat, siang dan malam yang silih berganti, air mengalir ketempat yang lebih
rendah, api membakar, angin berhembus, manusia lapar, haus dan akhirnya mati,
karena memang demikianlah hukum yang berlaku pada dirinya.
Sebagai umat Hindu agar lingkungan tetap harmoni
terdapat suatu kewajiban yang ditegaskan dalam Kitab Atharwaweda (XII:1), :
‘satyam brhad rtam nram diksha
tapa brahma yajna prthirviam dharayanti’
satya, rta, diksa, tapa, brahma dan yajna inilah yang menegakkan
bumi, satya adalah kebenaran, yang diwujudkan dengan berbuat kebajikan, rta
adalah hukum yang sepatutnya secara sadar haruslah ditaati, diksa adalah
kesucian yang diwujudkan dengan trikaya parisudha (berpikir, berkata dan
berbuat diatas kebenaran), yajna adalah persembahan (korban suci), brahma
adalah brahman yang tiada lain adalah Tuhan / Sanghyang Widhi sendiri (widhi
tattwa), tapa adalah pengendalian yang selalu mampu mewujudkan kebenaran
berdasarkan dharma sehingga dari satya mewujudkan siwam, dari siwam mewujudkan
sundaram (kebenaran, kesucian, keindahan).
Keharmonisan, keseimbangan antara unsur-unsur yang ada
pada alam dan unsur-unsur yang dimiliki oleh manusia itulah hakikat hubungan
antara manusia dengan alam. Salah satu cara yang ditempuh untuk mencapai
keharmonisan tersebut adalah dengan melakukan yadnya. Sebagai contoh yaitu upacara
Tumpek Bubuh dan Tumpek Kandang pada masyarakat Bali.. Tumpek Bubuh memiliki
filosofis berpijak pada sikap untuk memberi sebelum menikmati. Sebelum manusia
menikmati dan menggunakan tumbuh-tumbuhan sebagai bagian menu makanan
haruslah diawali dengan proses penanaman dan pemeliharaan, misalnya seorang
petani sebelum menikmati nasi, ia terlebih dahulu menanam padi. Hal tersebut
sebagai upaya untuk melestarikan ingkungan.
Begitu juga dengan Tumpek Kandang yang mengajarkan untuk
selalu mencintai segala jenis satwa. Dasar filosofis Tumpek Kandang yaitu berpegang
pada ajaran bahwa manusia dengan lingkungan ibarat singa dengan hutan, singa
adalah penjaga hutan dan hutanpun menjaga singa, dalam Kakawin Nitisastra 10.
Selain itu, Upacara Tumpek Kandang diselenggarakan untuk menyatakan terima
kasih kepada Tuhan karena binatang – binatang tersebut telah membantu pekerjaan
manusia dan sebagai makanan. Adapula petunjuk yang menyatakan bahwa tidak
boleh menebang pohon bambu pada hari tertentu, tidak boleh menyakiti binatang
seperti memotong ekor capung, ekor cicak,
mencari anak burung di sarangnya.
Usaha untuk melestarikan lingkungan alam dengan
sebaik-baiknya memberi jawaban tentang karangka konseptual Hindu dalam melihat
hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan hidup. Dalam
Kitab Suci Bhagawadgita, III:10, menyebutkan :
‘sahayajnah prajah srstva, puro’vaca prajapatih,
anena prosavisyadhvam, esa vo’stv istakamadhuk’
dahulukala Tuhan menciptakan manusia dengan yajna dan berkata :
‘dengan yajna pulalah hendaknya engkau berkembang, dan biarlah ini (bumi)
menjadi sapi perahanmu dengan maksud bahwa bumi / alam / lingkungan ini menjadi
sapi perahanmu untuk dapat memenuhi kinginan manusia untuk dapat hidup yang
layak dan harmoni dan selalu dipelihara dengan baik dan diusahakan
seoptimal mungkin bagi kemakmuran bersama.
‘annad bhavanti bhutani, parjanyad annasambhawah,
yajna bhavati parjanyo, yajnah karma samudbhawah’
karena makanan mahluk hidup, karena hujan makanan tumbuh, karena
yajna persembahan hujan turun, dan dari persembahan melahirkan karma perbuatan.
Manusia
sebagai komponen sentral dalam sistem lingkungan ini sudah sepantasnya selalu
menjaga keseimbangan diantara komponen-komponen lingkungan yang lainnya. Dalam
Kitab Bhagawadgita III.12 ada disebutkan demikian :
‘Istan bhogan hi vo deva, desvante yadnya bhavitah
Tair dattan aoradayai bhyo, yo blunte stena eva sah’
Dipelihara
oleh yadnya, para dewa akan memberi kesenangan yang kami ingini, ia yang
menikmati ini tanpa memberikan balasan kepadanya adalah pencuri.
Apabila manusia hanya ingin mencari kesenangan tanpa
terlebih dahulu memberi kesenangan terhadap makhluk lain adalah pencuri.
Manusia yang semena-mena menjadikan sumber hidupnya sebagai obyek kesenangan
tidak disertai tindakan memelihara sama dengan perilaku pencuri. Mengambil
tanpa sebelumnya memberi, menikmati dengan tidak memberi, menggunakan tanpa
sikap memelihara, sama dengan perilaku pencuri.
Kelihatannya memang
tidak ada “hukuman” dari Tuhan Yang Maha Agung, tetapi sebenarnya itu hanyalah
soal waktu. Kehidupa, ibarat roda pedati sekarang berada di atas, lain kali
berada di bawah. Sekarang bisa bermewah-mewah, hidup dengan limpahan harta, apa
pun keinginan bisa dipenuhi, lain kali semuanya bisa terpuruk. Alangkah baiknya
kita selalu mensyukuri apa karunia Sang Hyang Widhi tidak takabur ketika serba
ada dan tidak mengeluh ketika tidak ada. Marii syukuri hidup ini karena kita
lahir sebagai manusia, makluk utama ciptaan Tuhan, bukan lahir sebagai hewan.
Kitab Sarasamusccaya menyebutkan, berbahagialah dilahirkan sebagai manusia,
makluk mulia ciptaan Tuhan, lewat kehidupan ini mari perbaiki karma untuk
kehidupan yang lebih baik, kelak.
Jadi manusia diciptakan, dilahirkan, akan selalu
berhubungan dengan lingkungan dan selalu bersifat saling mmemelihara antara
yang satu dengan yang lainnya. Dalam hubungan ini manusia memerlukan alam
lingkungan sebagai tempat hidup, dan alam pun perlu manusia untuk merawat agar
tidak punah. Mengingat sangat pentingnya alam lingkungan ini, marilah kita
semua menjaga dan memelihara hutan dan hewan yang ada disekitar alam yang kita
cintai ini.
Komentar
Posting Komentar